TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG

Minggu, 24 Februari 2013

landmark : BENTENG KUTO BESAK

benteng kuto besak dilihat malam hari dari jembatan ampera




Benteng Kuta Besak adalah keraton pusat Kesultanan Palembang Darussalam, sebagai pusat kekuasaan tradisional yang mengalami proses perubahan dari zaman madya menuju zaman baru di abad ke-19. Pengertian KUTO di sini berasal dari kata Sanskerta, yang berarti: Kota, puri, benteng, kubu (lihat ‘Kamus Jawa Kuno –Indonesia’, L Mardiwarsito, Nusa Indah Flores, 1986). Bahasa Melayu (Palembang) tampaknya lebih menekankan pada arti puri, benteng, kubu bahkan arti kuto lebih diartikan pada pengertian pagar tinggi yang berbentuk dinding. Sedangkan pengertian kota lebih diterjemahkan kepada negeri.

Tinggi tembok ini 7 kaki. Tembok ini diperkuat dengan 4 bastion (baluarti). Di dalam masih ada tembok yang serupa dan hampir sama tingginya, dengan pintu-pintu gerbang yang kuat, sehingga ini dapat juga dipergunakan untuk pertahanan jika tembok pertama dapat didobrak (lihat LJ. Sevenhoven, Lukisan, halaman 14).

Benteng Kuto Besak 1935 an

Pengukuran terbaru para konsutan sendiri mendapatkan ukuran yang sedikit berbeda, yaitu panjang 290 meter dan lebar 180 meter. Pendapat de Sturler megenai kondisi benteng Kuto Besak:

“… lebar 77 roede dan panjangnya 44 roede, dilengkapi dengan 3 baluarti separo dan sebuah baluarti penuh, yang melengkapi keempat sisi keliling tembok. Tembok tersebut tebalnya 5 kaki dan tinggi dari tanah 22 dan 24 kaki.

Di bagian dalam di tengah kraton disebut Dalem, khusus untuk tempat kediaman raja, lebih tinggi beberapa kaki dari bangunan biasa. Seluruhnya dikelilingi oleh dinding yang tinggi sehingga membawa satu perlindungan bagi raja. Tak seorang pun boleh mendekati tempat tinggal raja ini kecuali para keluarganya atau orang yang diperintahkannya. Bangunan batu yang lain dalam kraton adalah tempat untuk menyimpan amunisi dan peluru”. (lihat W. L de Sturler - Proeve – halaman 186)

Pada saat peperangan melawan penjajah Belanda tahun 1819, terdapat sebanyak 129 pucuk meriam berada di atas tembok Kuto Besak. Sedangkan saat pada peperangan tahun 1821, hanya ada 75 pucuk meriam di atas dinding Kuto Besak dan 30 pucuk di sepanjang tembok sungai, yang siaga mengancam penyerang.

Catatan lainnya

Menggambarkan ketika Sultan Mahmmud Badaruddin II sedang di giring belanda ke pengasingan di ternate  tahun 1821 setelah perang Palembang ke III dengan latar belakan benteng Kuto Besak (Ilustrasi)

Benteng Kuto Besak ini sebenarnya adalah keraton keempat dari Kesultanan Palembang. Pada awalnya keraton KesultananPalembang bernama Kuto Gawang dan terletak di lokasi yang sekarang dijadikan pabrik pupuk Sriwijaya.

Tahun 1651, ketika Bangsa Belanda ingin memegang monopoli perdagangan di Palembang, keinginan tersebut ditentang oleh Sultan Palembang, sehingga terjadi perselisihan yang puncaknya adalah penyerbuan terhadap keraton tersebut. Penyerbuan yang disertai pembumihangusan tersebut menyebabkan dipindahkannya pusat pemerintahan ke daerah Beringinjanggut di tepi Sungai Tengkuruk, di sekitar Pasar 16 Ilir sekarang.

Kemudian pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I (1724 -- 1758) pusat pemerintahan tersebut dipindahkan lagi ke lokasi yang sekarang menjadi lokasi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.

Selanjutnya pusat pemerintahan berpindah lagi ke lokasi yang baru, yaitu yang sampai sekarang dikenal dengan nama Kuto Besak (Hanafiah 1989).

Secara spesifik sistem pertahanan di Benteng Kuto Besak menunjukan bahwa pada saat itu Sultan Mahmud Baharuddin I telah memperhitungkan dengan cermat tentang bagaimana cara melindungi pusat pemerintahannya. Pendirian benteng yang berada di lahan yang dikelilingi oleh sungai-sungai jelas menunjukkan bahwa siapapun yang ingin masuk ke keraton sultan tidak dapat secara langsung mendekati bangunan tersebut tetapi harus melalui titik-titik tertentu sehingga mudah dipantau dan cepat diantisipasi jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan antara lain seperti penyerangan mendadak.

Secara keseluruhan Benteng Kuto Besak berdenah persegipanjang dan berukuran 288,75 m x 183,75 m, serta menghadap ke arah tenggara tepat di tepi Sungai Musi. Di tiap-tiap sudut benteng terdapat bastion, tiga bastion di sudut utara, timur dan selatan berbentuk trapesium sedangkan bastion sudut barat berbentuk segilima. Benteng Kuto Besak memiliki tiga pintu gerbang, yaitu di sisi timur laut dan barat laut serta gerbang utama di sisi tenggara.

Tembok keliling Benteng Kuto Besak sendiri juga mempunyai keunikan, yaitu bentuk dinding yang berbeda-beda pada masing-masing sisi benteng, demikian juga dengan tingginya. Dinding tembok sisi timur laut mempunyai ketebalan yang sama, ketinggian dinding tembok bagian depan adalah 12,39 m sedangkan bagian dalam 13,04 m, sehingga bagian atasnya membentuk bidang miring yang landai. Tampak muka dinding sisi timur laut ini juga dihiasai dengan profil. Sama dengan dinding sisi tenggara, dinding sisi timur laut juga dilengkapi dengan celah intai yang berbentuk persegi dengan bagian atas berbentuk melengkung. Lubang celah intai tersebut juga berbentuk mengecil di bagian tengahnya.

Dinding tembok sisi barat daya mempunyai dua bentuk yang berbeda. Secara umum tembok sisi barat daya ini dibagi dua karena di bagian tengahnya terdapat pintu gerbang. Dinding tembok sisi barat daya bagian selatan mempunyai bentuk dimana bagian bawahnya lebih tebal dari pada bagian atas, yaitu 1,95 m dan 1,25 m tetapi bagian dalam dan luar dinding mempunyai ketinggian yang sama yaitu  2,5 m. Dinding tembok sisi barat daya bagian utara mempunyai bentuk dimana bagian bawah lebih tebal daripada bagian atas yaitu 2,35 m dan 1,95 m. Ketinggian dinding bagian dalam dan luar adalah 2,5 m.

Dinding tembok sisi barat laut memiliki bentuk yang hampir serupa dengan dinding tembok barat daya bagain selatan. Tebal dinding bagian bawah adalah 1,6 m sedangkan bagian atas 1,15 m. Ketinggian dinding adalah 2,25 m.

Saat ini keadaan Benteng Kuto Besak telah mengalami beberapa perubahan. Secara kronologi tinggalan-tinggalan arkeologi yang berada di Benteng Kuto Besak berasal dari masa Kesultanan Palembang Darussalam dan Kolonial Belanda. Secara khusus tinggalan arkeologi yang berasal dari masa Kesultanan Palembang Darussalam adalah tembok keliling dan pintu gerbang bagian barat daya; sedangkan tinggalan arkeologi yang berasal dari masa Kolonial Belanda adalah gerbang utama Benteng Kuto Besak dan beberapa bangunan yang terdapat di dalam benteng. Berdasarkan gaya arsitekturnya, bangunan-bangunan di dalam Benteng Kuto Besak diidentifikasikan bergaya Indis yang berkembang di Indonesia pada awal abad ke XX.

SEJARAH SINGKAT BERDIRINYA MASJID SULTAN MAHMUD BADARUDDIN (MASJID AGUNG) PALEMBANG




Pendirian

Masjid Agung pada mulanya disebut Masjid Sultan. Perletakan batu pertama pada tahun 1738, dan peresmiannya pada hari Senen tanggal 28 Jumadil Awal 115 H atau 26 Mei 1748. Masjid Agung didirikan oleh Sultan Mahmud Badaruddin I yang dikenal pula dengan Jayo Wikramo (tahun 1724-1758).

Masjid Agung Palembang bagian dari peninggalan Kesultanan Palembang Darussalam, dan menjadi salah satu masjid tertua di Kota Palembang. Masjid ini berada di utara Istana Kesultanan Palembang, di belakang Benteng Kuto Besak yang berdekatan dengan aliran sungai Musi. Secara administratif, berada di Kelurahan 19 Ilir, Kecamatan Ilir Barat I, tepat di pertemuan Jalan Merdeka dan Jalan Sudirman, pusat Kota Palembang.

Masjid Agung Palembang mulai dibangun pada tahun 1738 oleh Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo. Pembangunan berlangsung selama 10 tahun dan resmi digunakan sebagai tempat peribadatan umat muslim Palembang pada tanggal 28 Jumadil Awal 1161 H atau 26 Mei 1748 M.

Masjid Agung 1753
Awalnya masjid ini bernama Masjid Sultan, dan belum memiliki menara. Bentuk masjid hampir bujursangkar, memiliki ukuran 30 meter x 36 meter. Dengan luas mencapai 1080 meter persegi, konon, Masjid Sultan merupakan masjid terbesar di nusantara yang mampu menampung 1200 jema’ah.

Arsitektur

Masjid Sultan dirancang oleh seorang arsitek dari Eropa. Konsep bangunan masjid memadukan keunikan arsitektur Nusantara, Eropa dan Cina. Gaya khas arsitektur Nusantara adalah pola struktur bangunan utama berundak tiga dengan puncaknya berbentuk limas. Undakan ketiga yang menjadi puncak masjid atau mustaka memiliki jenjang berukiran bunga tropis. Pada bagian ujung mustaka terdapat mustika berpola bunga merekah. Bentuk undakan bangunan masjid dipengaruhi bangunan dasar candi Hindu-Jawa, yang kemudian diserap Masjid Agung Demak.

Masjid Agung Palembang
Atap masjid berbentuk limas, terdiri dari tiga tingkat. Pada bagian atas sisi limas atap terdapat jurai daun simbar menyerupai tanduk kambing yang melengkung. Setiap sisi limas memiliki 13 jurai. Bentuk jurai melengkung dan lancip. Rupa ini merupakan bentuk atap kelenteng Cina. Ciri khas arsitektur Eropa terdapat pada rupa jendela masjid yang besar dan tinggi. Pilar masjid berukuran besar dan memberi kesan kokoh. Material bangunan seperti marmer dan kaca diimpor langsung dari Eropa.

Pembangunan Menara

Pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Najamudin (masa pemerintahan 1758–1774) menara masjid dibangun. Lokasi menara masjid terpisah dari bangunan utama, dan berada di bagian barat. Pola menara masjid berbentuk segi enam setinggi 20 meter. Rupa menara masjid menyerupai menara kelenteng. Bentuk atap menara melengkung pada bagian ujungnya, dan beratap genteng. Menara masjid memiliki teras berpagar yang mengelilingi bangunan menara

Pemugaran dan Renovasi Masjid Agung Palembang

Pada tahun 1819 dan 1821 dilakukan pemugaran masjid akibat peperangan besar yang berlangsung selama lima hari berturut-turut. Perbaikan masjid dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Atap genteng menara masjid diganti atap sirap. Tinggi menara ditambahkan dengan adanya beranda melingkar.
Usia satu abad Masjid Sultan, yakni pada tahun 1848, dilakukan perluasan bangunan oleh pemerintah Hindia Belanda. Gaya tradisional Gerbang Utama masjid diubah menjadi Doric style. Pada tahun 1879, serambi Gerbang Utama masjid diperluas dengan tambahan tiang beton bulat. Rupa serambi Gerbang Utama menyerupai pendopo, namun bergaya kolonial.

Perluasan pertama Masjid Sultan dilaksanakan pada tahun 1897 oleh Pangeran Nata Agama Karta Manggala Mustofa Ibnu Raden Kamaluddin. Lahan yang dijadikan areal kawasan masjid merupakan wakaf dari Sayyid Umar bin Muhammad Assegaf Althoha dan Sayyid Achmad bin Syech Shahab. Kemudian nama Masjid Sultan diubah menjadi Masjid Agung.

Perbaikan dan perluasan masjid dilakukan kembali pada tahun 1893. Pada tahun 1916 bangunan menara masjid disempurnakan. Kemudian pada tahun 1930, dilakukan perubahan struktur pilar masjid. Yakni menambah jarak pilar dengan atap menjadi 4 meter.

Pada kurun tahun 1966-1969 dibangun lantai kedua. Luas mesjid menjadi 5.520 meter persegi dengan daya tampung 7.750 jema’ah. Pada tanggal 22 Januari 1970 dimulai pembangunan menara baru yang disponsori oleh Pertamina. Menara baru ini setinggi 45 meter, mendampingi menara asli bergaya Cina. Renovasi Masjid Agung diresmikan pada tanggal 1 Februari 1971.

Sejak tahun 2000, Masjid Agung dilakukan renovasi kembali, dan selesai pada tanggal 16 Juni 2003 bertepatan dengan peresmiaannya oleh Presiden RI Hj. Megawati Soekarno Putri. Masjid Agung Palembang yang megah dan berdiri kokoh kini mampu menampung 9000 jama’ah.

Tempat Pusat Kajian Islam di Palembang

Arsitektur Masjid Agung dan masjid tua lainnya di Palembang secara simbolik memiliki nilai filosofis yang tinggi. Undakan pelataran masjid dan tingkatan atap yang berjumlah tiga memberi makna perjalanan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hamka (1961) menafsirkan atap tumpang sebagai berikut: Tingkat pertama melambangkan Syariah serta amal perbuatan manusia. Tingkat kedua melambangkan Thariqat yaitu jalan untuk mencapai ridlo Allah SWT. Atap tingkat ke tiga melambangkan Hakikat, yaitu ruh atau hakekat amal perbuatan seseorang. Sedangkan Puncak (Mustoko) melambangkan Ma’rifat, yaitu tingkat mengenal Tuhan Yang Maha Tinggi.

Dalam sejarahnya, masjid yang berada di pusat Kesultanan Palembang Darussalam menjadi pusat kajian Islam yang telah melahirkan sejumlah ulama besar. Syekh Abdus Shamad al-Palembani, Kemas Fachruddin, dan Syihabuddin bin Abdullah, adalah beberapa ulama yang pernah menjadi Imam Besar Masjid Agung. Peran para ulama ini sangat besar dalam mengembangkan agama Islam di wilayah Kesultanan Palembang. Konsep pengajaran Islam diturunkan kedalam lingkup amal (praktik) dan ilmu (wacana), sehingga mudah diterima dan diamalkan oleh masyarakat muslim Palembang.

Saksi Sejarah
Masjid Agung Palembang menyimpan kenangan tak terlupakan sepanjang masa. Ia menjadi saksi perjuangan rakyat Palembang pada pertempuran lima hari melawan Belanda di pusat kota. Pertempuran bermula pada tanggal 1 Januari 1947. Pejuang Republik awalnya menyerang RS Charitas. Keesokan harinya Belanda membalas serangan dengan kekuatan penuh menuju pusat komando pejuang Republik yang berada di Masjid Agung Palembang. Batalyon Geni merapatkan barisan bersama berbagai tokoh masyarakat demi mempertahankan masjid dari kehancuran. Pejuang Republik berhasil bertahan, tentara Belanda mundur akibat kekurangan pasokan. Pada saat yang bersamaan bantuan pasukan Belanda yang datang dari Talangbetutu berhasil dihadang oleh pasukan Republik dibawah Letnan Satu Wahid Luddien.



Belanda melancarkan kembali serangan pada hari ketiga. Kekuatan mereka lebih besar, mendapat dukungan serangan udara dari pesawat – pesawat Mustang untuk meluluhlantakkan kota Palembang. Namun upaya mereka gagal, kememangan kembali diraih setelah pasukan Ki.III/34 berhasil menenggelamkan satu kapal Belanda yang penuh dengan mesiu, meskipun harus menelan korban banyak akibat bombardir serangan udara pesawat Mustang Belanda.

Pada hari keempat, bantuan pasukan Republik yang akan bergabung di Masjid Agung Palembang dihadang pasukan Belanda di wilayah sekitar Simpang Empat BPM, Sekanak dan Kantor Karesidenan.

Pertempuran berlanjut hingga hari kelima. Kekuatan Belanda langsung menuju jantung pertahanan pasukan Republik, Masjid Agung Palembang. Pertempuran sengit terjadi, pasukan Mobrig pimpinan Inspektur Wagiman dengan bantuan Batalyon Geni mampu mempertahankan garis pertahanan sehingga pasukan Belanda gagal merangsek. Setelah melewati lima hari pertempuran yang melelahkan, pihak Belanda menyatakan mundur. Disepakati perjanjian Cease Fire oleh kedua belak pihak. Perjanjian ini menandakan berakhirnya pendudukan Belanda dari wilayah kota Palembang.

Sabtu, 23 Februari 2013

AMPERA


Jembatan Ampera merupakan jembatan kebanggaan masyarakat Palembang, Sumatera Selatan dan menjadi LANDMARK bagi kota Palembang. Keberadaan jembatan tersebut sangat penting untuk menghubungkan daerah ulu dan ilir sehingga transportasi menjadi lancar dan otomatis juga memperlancar kehidupan ekonomi. Jembatan Ampera merupakan hadiah Bung Karno bagi masyarakat Palembang yang dananya diambil dari dana rampasan perang Jepang (juga untuk membangun Monas, Jakarta). Dahulu jembatan ini sempat diberi nama Jembatan Bung Karno, tetapi beliau tidak setuju (supaya tidak ada kultus individu), maka nama Ampera lebih cocok sesuai dengan fungsinya sebagai Amanat Penderitaan Rakyat, yang pernah menjadi slogan bangsa Indonesia pada tahun 1960-an.
jembatan diliat dari BKB tempo dulu
proses pembangunan jembatan

Struktur Jembatan Ampera

    Panjang : 1.117 m (bagian tengah 71,90 m)
    Lebar : 22 m
    Tinggi : 11.5 m dari permukaan air
    Tinggi Menara : 63 m dari permukaan tanah
    Jarak antara menara : 75 m
    Berat : 944 ton

Sejarah Jembatan Ampera

Pada awalnya, jembatan sepanjang 1.177 meter dengan lebar 22 meter ini, dinamai Jembatan Bung Karno.
Menurut sejarawan Djohan Hanafiah, pemberian nama tersebut sebagai bentuk penghargaan kepada Presiden RI pertama itu. Bung Karno secara sungguh-sungguh memperjuangkan keinginan warga Palembang, untuk memiliki sebuah jembatan di atas Sungai Musi.
Pembangunan jembatan ini dimulai pada bulan April 1962, setelah mendapat persetujuan dari Presiden Soekarno. Biaya pembangunannya diambil dari dana pampasan perang Jepang. Bukan hanya biaya, jembatan inipun menggunakan tenaga ahli dari negara tersebut.

Peresmian pemakaian jembatan dilakukan pada tahun 1965 tepatnya pada tanggal 30 September 1965 Oleh Letjend Ahmad Yani ( sore hari Pak Yani Pulang dan subuh 1 Oktober 65 menjadi Korban G.30 S PKI), sekaligus mengukuhkan nama Bung Karno sebagai nama jembatan. Akan tetapi, setelah terjadi pergolakan politik pada tahun 1966, ketika gerakan anti-Soekarno sangat kuat, nama jembatan itu pun diubah menjadi Jembatan Ampera. tetapi masyarakat palembang lebih suka memanggil jembatan ini dengan sebutan “Proyek Musi”

Bagian tengah Jembatan Ampera, ketika baru selesai dibangun, sepanjang 71,90 meter, dengan lebar 22 meter. Bagian jembatan yang berat keseluruhan 944 ton itu dapat diangkat dengan kecepatan sekitar 10 meter per menit. Dua menara pengangkatnya berdiri tegak setinggi 63 meter. Jarak antara dua menara ini 75 meter. Dua menara ini dilengkapi dengan dua bandul pemberat masing-masing sekitar 500 ton.

Keistimewaan Jembatan Ampera

Pada awalnya, bagian tengah badan jembatan ini bisa diangkat ke atas agar tiang kapal yang lewat dibawahnya tidak tersangkut badan jembatan. Bagian tengah jembatan dapat diangkat dengan peralatan mekanis, dua bandul pemberat masing-masing sekitar 500 ton di dua menaranya. Kecepatan pengangkatannya sekitar 10 meter per menit dengan total waktu yang diperlukan untuk mengangkat penuh jembatan selama 30 menit.

Pada saat bagian tengah jembatan diangkat, kapal dengan ukuran lebar 60 meter dan dengan tinggi maksimum 44,50 meter, bisa lewat mengarungi Sungai Musi. Bila bagian tengah jembatan ini tidak diangkat, tinggi kapal maksimum yang bisa lewat di bawah Jembatan Ampera hanya sembilan meter dari permukaan air sungai.

Sejak tahun 1970, Jembatan Ampera sudah tidak lagi dinaikturunkan. Alasannya, waktu yang digunakan untuk mengangkat jembatan ini, yaitu sekitar 30 menit, dianggap mengganggu arus lalu lintas antara Seberang Ulu dan Seberang Ilir, dua daerah Kota Palembang yang dipisahkan oleh Sungai Musi.

Alasan lain karena sudah tidak ada kapal besar yang bisa berlayar di Sungai Musi. Pendangkalan yang semakin parah menjadi penyebab Sungai Musi tidak bisa dilayari kapal berukuran besar. Sampai sekarang, Sungai Musi memang terus mengalami pendangkalan .

Pada tahun 1990, dua bandul pemberat untuk menaikkan dan menurunkan bagian tengah jembatan, yang masing-masing seberat 500 ton, dibongkar dan diturunkan karena khawatir jika sewaktu-waktu benda itu jatuh dan menimpa orang yang lewat di jembatan.

jembatan Ampera pernah direnovasi pada tahun 1981, dengan menghabiskan dana sekitar Rp 850 juta. Renovasi dilakukan setelah muncul kekhawatiran akan ancaman kerusakan Jembatan Ampera bisa membuatnya ambruk.

Bersamaan dengan eforia reformasi tahun 1997, beberapa onderdil jembatan ini diketahui dipreteli pencuri. Pencurian dilakukan dengan memanjat menara jembatan, dan memotong beberapa onderdil jembatan yang sudah tidak berfungsi.
Warna jembatan pun sudah mengalami 3 kali perubahan dari awal berdiri berwarna abu-abu terus tahun 1992 di ganti kuning dan terakhir di tahun 2002 menjadi merah sampai sekarang

Kamis, 21 Februari 2013

SEJARAH PALEMBANG


          Kota Palembang merupakan kota tertua di Indonesia berumur setidaknya 1382 tahun jika berdasarkan prasasti Sriwijaya yang dikenal sebagai prasasti Kedudukan Bukit. Menurut Prasasti yang berangka tahun 16 Juni 682. Pada saat itu oleh penguasa Sriwijaya didirikan Wanua di daerah yang sekarang dikenal sebagai kota Palembang. Menurut topografinya, kota ini dikelilingi oleh air, bahkan terendam oleh air. Air tersebut bersumber baik dari sungai maupun rawa, juga air hujan. Bahkan saat ini kota Palembang masih terdapat 52,24 % tanah yang yang tergenang oleh air (data Statistik 1990). Berkemungkinan karena kondisi inilah maka nenek moyang orang-orang kota ini menamakan kota ini sebagai Pa-lembang dalam bahasa melayu Pa atau Pe sebagai kata tunjuk suatu tempat atau keadaan; sedangkan lembang atau lembeng artinya tanah yang rendah, lembah akar yang membengkak karena lama terendam air (menurut kamus melayu), sedangkan menurut bahasa melayu-Palembang, lembang atau lembeng adalah genangan air. Jadi Palembang adalah suatu tempat yang digenangi oleh air.   


          Kota Palembang adalah salah satu kota (dahulu daerah tingkat II berstatus kotamadya) sekaligus merupakan ibu kota dari Provinsi Sumatra Selatan. Palembang adalah kota terbesar kedua di Sumatra setelah Medan. Kota ini dahulu pernah menjadi pusat KerajaanSriwijaya sebelum kemudian berpindah ke Jambi. Bukit Siguntang, di Palembang Barat, hingga sekarang masih dikeramatkan banyak orang dan dianggap sebagai bekas pusat kesucian di masa lalu.

          Sempat kehilangan fungsi sebagai pelabuhan besar, penduduk kota ini lalu mengadopsi budaya Melayupesisir, lalu Islam dr tanah Jawa. Sampai sekarang pun hal ini bisa dilihat dalam budayanya. Salah satunya adalah bahasa. Kata-kata seperti "lawang (pintu)", "gedang (pisang)", adalah salah satu contohnya. Gelar kebangsawanan pun bernuansa Jawa, seperti Raden Mas/Ayu. Makam-makam peninggalan masa Islam pun tidak berbeda bentuk dan coraknya dengan makam-makam Islam di Jawa.

          Kota ini memiliki komunitas Tionghoa yang besar. Makanan khas daerah ini adalah pempek Palembang,tekwanmodelcelimpungankue maksubakue 8 jam,kue engkaklaksanburgo, dll. Makanan seperti pempek atau tekwan mengesankan "Chinese" taste masyarakat Palembang.

          Kota Palembang juga dipercayai oleh masyarakat melayu sebagai tanah leluhurnya. Karena di kota inilah tempat turunnya cikal bakal raja Melayu pertama yaitu Parameswara yang turun dari Bukit Siguntang. Kemudian Parameswa meninggalkan Palembang bersama Sang Nila Utama pergi ke Tumasik dan diberi nyalah nama Singapura kepada Tumasik. Sewaktu pasukan Majapahit dari Jawa akan menyerang Singapura, Parameswara bersama pengikutnya pindah ke Malaka disemenanjung Malaysia dan mendirikan Kerajaan Malaka. Beberapa keturunannya juga membuka negeri baru di daerah Pattani dan Narathiwat (sekarang wilayah Thailand bagian selatan). Setelah terjadinya kontak dengan para pedagang dan orang-orang Gujarat dan Persia di Malaka, maka Parameswara masuk agama Islam dan mengganti namanya menjadi Sultan Iskandar Shah.

           Secara teratur, sebelum masa NKRI pertumbuhan Kota Palembang dapat dibagi menjadi beberapa fase utama:

1. Fase Sebelum Kerajaan Sriwijaya

Merupakan zaman kegelapan, karena mengingat Palembang telah ada jauh sebelum bala tentara Sriwijaya membangun sebuah kota dan penduduk asli daerah ini seperti yang tertulis pada manuskrip lama di hulu Sungai Musi merupakan penduduk dari daerah hulu Sungai Komering.

2. Fase Sriwijaya Raya,

Palembang menjadi pusat dari kerajaan yang membentang mulai dari barat pulau jawa, sepanjang pulau sumatera, semenanjung malaka, bagian barat kalimantan sampai ke indochina. Runtuhnya Sriwijaya sendiri utamanya karena penyerbuan bangsa-bangsa pelaut ‘yang tidak terdefinisikan’, sebagian sejarahwan mengatakan bahwa mereka adalah pasukan barbar laut dari Srilanka (Ceylon). Akibat hancurnya kekuatan maritim mereka, Sriwijaya menjadi lemah dan persekutuan daerah-daerah kekuasaanya terlepas dan ketika datangnya Ekspedisi Pamalayu dari Jawa (majapahit) ke jambi dalam melakukan isolasi kepada Palembang, untuk mencegah Sriwijaya bangkit kembali.

3. Fase Runtuhnya Kerajaan Sriwijaya

Di sekitar Palembang dan sekitarnya kemudian bermunculan kekuatan-kekuatan lokal seperti Panglima Bagus Kuning di hilir Sungai Musi, Si Gentar Alam di daerah Perbukitan, Tuan Bosai dan Junjungan Kuat di daerah hulu Sungai Komering, Panglima Gumay di sepanjang Bukit Barisan dan sebagainya. Pada fase inilah Parameswara yang mendirikan Tumasik (Singapura) dan Kerajaan Malaka hidup, dan pada fase inilah juga terjadi kontak fisik secara langsung dengan para pengembara dari Arab dan Gujarat.

4. Fase Kesultanan Palembang Darussalam

Hancurnya Majapahit di Jawa secara tidak langsung memberikan andil pada kekuatan lama hasil dari Ekspedisi Pamalayu di Sumatera. Beberapa tokoh penting di balik hancurnya Majapahit seperti Raden Patah, Ario Dillah (Ario Damar) dan Pati Unus merupakan tokoh-tokoh yang erat kaitanya dengan Palembang. Setelah Kesultanan Demak yang merupakan 'pengganti' dari Majapahit di Jawa berdiri, di Palembang tak lama kemudian berdiri pula 'Kesultanan Palembang Darussalam' dengan 'Susuhunan Abddurrahaman Khalifatul Mukmiminin Sayyidul Iman' sebagai raja pertamanya. Kerajaan ini mengawinkan dua kebudayaan, maritim peninggalan dari Sriwijaya dan agraris dari Majapahit dan menjadi pusat perdagangan yang paling besar di Semenanjung Malaka pada masanya. Salah satu raja yang paling terkenal pada masa ini adalah Sultan Mahmud Badaruddin II yang sempat menang tiga kali pada pertempuran melawan Eropa (Belanda dan Inggris).

5. Fase Kolonialisme

Setelah jatuhnya Kesultanan Palembang Darussalam pasca kalahnya Sultan Mahmud Badaruddin II pada pertempuran yang keempat melawan Belanda yang pada saat ini turun dengan kekuatan besar pimpinan Jendral de Kock, maka Palembang nyaris menjadi kerajaan bawahan. Beberapa Sultan setelah Sultan Mahmud Badaruddin II yang menyatakan menyerah kepada Belanda berusaha untuk memberontak tetapi kesemuanya gagal dan berakhir dengan pembumihangusan bangunan kesultanan untuk menghilangkan simbol-simbol kesultanan. Setelah itu Palembang dibagi menjadi dua keresidenan besar, dan pemukiman di Palembang dibagi menjadi daerah Ilir dan Ulu

           Penduduk Palembang merupakan cabang dari masyarakat melayu, dan menggunakan bahasa melayu sebagai bahasa sehari-hari, namun para pendatang daerah seringkali menggunakan bahasa daerahnya sebagai bahasa sehari-hari, seperti bahasa komering, rawas, lahat, dsb. Pendatang dari luar Sumatera Selatan terkadang juga menggunakan bahasa daerahnya sebagai bahasa sehari-hari dalam keluarga atau komunitas kedaerahan, seperti pendatang dari Pulau Jawa dan daerah-daerah lain di Indonesia. Namun untuk berkomunikasi dengan warga Palembang lain, penduduk umumnya menggunakan Bahasa Palembang sebagai bahasa pengantar sehari-hari. Selain penduduk Palembang asli, di Palembang terdapat pula warga pendatang dan warga keturunan, warga pendatang seperti dari Pulau Jawa, Madura, Sulawesi (Makassar dan Manado), Papua, Wilayah Sumatera Lainnya. Warga Keturunan terutama Tionghoa, Arab dan India.

Kesenian yang terdapat di Palembang antara lain:
  • Kesenian Dul Muluk (semacam pentas drama)


  • Tari-tarian seperti Gending Sriwijaya yang diadakan sebagai penyambutan kepada tamu-tamu, dan tari Tanggai yang diperagakan dalam resepsi pernikahan

  • Lagu Daerah seperti Cuk Mak Ilang
Rumah Adat Palembang adalah Rumah Limas dan Rumah Rakit


            Kota Palembang mengadakan berbagai festival setiap tahunnya antara lain Festival Sriwijaya setiap bulan Juni memperingati Hari Jadi Kota Palembang, Festival Bidar dan Perahu Hias merayakan Hari Kemerdekaan. Serta berbagai festival memperingati Tahun Baru Hijriah, Bulan Ramadhan, Tahun Baru Masehi, dsb.

            Kota Palembang memiliki beberapa wilayah yang menjadi ciri khas dari suatu komunitas seperti Kampung Kapitan yang merupakan wilayah Komunitas Tionghoa dan Kampung Al Munawwar yang merupakan wilayah Komunitas Arab.